Minggu, 06 April 2014

Tersesat

Tersesat
By : Klepon

“Nah, anak-anak. Ini saatnya untuk memulai petualangan seru kalian! Jangan lupa untuk selalu mengamalkan apa yang sudah bapak-ibu dan juga kakak-kakak panitia ajarkan. Pergunakanlah peta yang sudah kalian bawa dengan baik dan benar. Jangan merusak alam. Tetaplah bekerja sama dengan kelompok kalian.........” suara bapak ketua panitia terdengar jelas di telinga para peserta.
“Uuuhh..... Lama sekali Pak Ketua pidatonya. Bosan!” keluh Cakka.
“Sttt! Ini penting untuk perjalanan kita nanti!” kata Cikka untuk membuat Cakka berhenti mengeluh.
“Aaaaa.... Untuk apa? Tidak usah diberitahu pun, aku sudah tahu! Ayolah, aku ingin segera menjelajahi hutan ini!” Cakka tak berhenti mengeluh.
Liburan sekolah dimulai. Sebagai anak pramuka yang berjiwa petualang, kelima sahabat yang terdiri atas Cepaka, Gladis, Cakka, Cikka, dan juga Sasa, tidak ingin melewatkan liburannya hanya dengan bermalas-malasan di rumah. Karenanya, mereka memutuskan untuk mengikuti kegiatan Perkemahan dan Penjelajahan Hutan yang diadakan oleh Lembaga Kehutannan. 
“Baik. Demikian pengantar dari Ketua Panitia kita. Kini saatnya untuk menjelajah! Apa kalian siap ‘Hai, Petualang!’” suara pembawa acara menggelegar.
“Oioioi!” jawab seluruh peserta serempak.
Ketika giliran mereka berangkat, kelima sahabat berjalan dengan mantap masuk ke dalam area hutan.
“Hei, Cepaka! Kali ini, aku yang memimpin jalan ya!” seru Cakka.
“Memang kamu bisa membaca peta?” sindir Gladis.
“Tentu saja bisa! Memang apa gunanya aku mengikuti seluruh pelaihan ini?!” jawab Cakka tidak terima sambil mengambil peta dari tangan Cepaka.
“Ya sudah. Pastikan kita tidak akan tersesat, ya,” tutur Cepaka.
Perjalanan pun dimulai. Cakka mengarahkan jalan dengan muka bijaksana. Dia menunjukkan jalan dengan langkah pasti. Sampai beberapa saat kemudian..
“Apa kau yakin ini jalan yang benar, Cakka? Kok medannya terjal sekali. Aku tidak yakin panitia memilihkan jalan seperti ini,” tanya Sasa.
“Iya, aku juga merasa kita sudah melewati jalan ini tiga kali,” keluh Cikka.
“Alah! Pasti benar! Aku kan berjalan sesuai dengan peta. Panitia hanya ingin menguji kemampuan kita. Untuk jalan yang sama, ini kan hutan! Tidah heran jika kita menemukan daerah yang mirip di hutan,” sergah Cakka.
“Sini, biar aku lihat petanya!” Cepaka mengambil peta dari tangan Cakka.
Seketika, tangan Cepaka lemas. Bibirnya mengucapkan kata-kata dengan pelan, “Kau membaca peta ini terbalik.”
“Apaa?!” serempak keempat sahabatnya berteriak.
“Aduh! Masak sih? Aaaaa... Apa yang harus kita lakukan?” Gladis mulai panik.
“Hiks.. Hiks.. Hiks..” Sasa mulai sesenggukan.
“Kamu sih! Kalau gak bisa baca peta itu gak usah sok-sokan tahu!” bentak Cikka kepada Cakka.
“Ye?! Aku kan cuma melakukan sedikit kesalahan!” Cakka tidak terima.
“Sedikit katamu??!” baru Cikka akan menambah kata-katanya, Cepaka menengahi.
“Sudah-sudah. Yang harus kita lakukan di saat seperti ini adalah tenang.”
“Tenang? Bagaimana aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini? Meski ini bukan hutan rimba, tapi hutan ini cukup luas. Dan kita sudah berjalan lama tadi. Itu berarti kita pasti sudah tersesat jauh.” Gladis bingung.
“Mudah saja. Rilekskan pikiran dan mulailah mencari jalan. Sudah jangan panik. Jika kita tidak segera kembali, aku yakin panitia akan segera mencari kita,” Cepaka menenangkan.
“Sampai berapa lama?” Sasa mulai berhenti menangis.
“Secepatnya,” kata Cepaka yakin.
“Yang penting, kita masih punya persediaan air dan makanan. Aku yakin itu cukup sampai kita menemukan jalan kembali atau sampai panitia menemukan kita,” Cepaka menambahkan.
Tiba-tiba saja, Cakka cengar-cengir tidak jelas. “Ehm, sebenarnya, makanan dan minuman kita aku tinggal di tenda tadi. Habis, aku pikir kita tidak akan kelaparan atau kehausan jika hanya menempuh jalan sesuai peta. Daripada berat, ya aku tinggal.”
“ Apaa?” keempat sahabatnya kembali berteriak kompak.
“Aaah.. Kamu benar-benar merepotkan!” Cikka kembali berteriak.
“Sudahlah. Bukannya di saat seperti ini adalah waktu terbaik untuk mempraktekan teori-teori yang sudah kita dapat?” suara Cepaka seperti menantang sahabat-sahabatnya.
“Benar juga. Untuk apa kita tahu teorinya jika tidak pernah menggunakannya?” Gladis mulai tenang.
“Yoo! Baiklah! Ayo kita buktikan bahwa kita dapat bertahan hidup di alam!” Sasa berteriak semangat.
“Yoo!” seru keempat sahabatnya.
“Baiklah, yang pertama perlu kita lakukan adalah mencari sumber air,” Gladis memulai.
“Aah.. Sumber air banyak kok. Daritadi, aku mendengar suara arus sungai. Dan ketika kita melewati salah satunya tadi, airnya jernih, banyak ikan yang berenang-renang,” kata Cikka.
“Ya, benar! Adanya kehidupan di air itu menandakan bahwa air itu aman untuk diminum. Kita hanya perlu merebusnya. Bukannya kita sudah tahu bagaimana caranya membuat api?!” kata Cakka.
“Ya! Mari kita menuju ke sungai!” ajak Cepaka.
“Kita sudah sampai! Aku akan mencari ranting kering! Hei, Cepaka! Kamu membawa korek api kan?” tanya Cakka.
“Ya, aku bawa. Jadi kita tidak perlu susah-susah menggosokkan batang kayu atau batu untuk membuat api,” jawab Cepaka.
“Untuk tempat merebusnya, pakai apa?” tanya Sasa.
“Aku membawa rantang besi! Sebenarnya rantang itu aku gunakan unuk tempat obat. Hihihihihi... Tapi lumayan lah..” jawab Gladis.
Kelima sahabat itu bekerja dengan riang gembira.
“Hei, kalian pasti lapar kan? Bagaimana kalau kita memburu ikan-ikan itu untuk makan?” tanya Cikka.
“Aaaa... Tidak usah. Sewaktu aku mencari ranting tadi. Aku menemukan pohon yang buah-buahnya sedang tumbuh ranum! Ayo ikut aku!” ajak Cakka.
Cepaka dan Cikka mengikutinya, sedangkan Sasa dan Gladis tetap menunggu di tempat semula.
“Naah.. Ini dia!” kata Cakka sambil mengambil salah satu buah dan hendak memakannya.
“Jangan!” dengan sigap tangan Cepaka melempar buah dari tangan Cakka.
“Ihh.. Kenapa sih? Aku lapar!” keluh Cakka.
“Jangan makan buah itu! Lihat! Buah ini terlihat cantik sekali. Tidak ada bekas gigitan hewan apapun. Padahal, kau dapat melihat berbagai jenis hewan dan serangga di sini. Itu berarti, ada kemungkinan buah ini beracun,” kata Cepaka.
“Ya! Lagipula, buah ini mengandung banyak getah! Berbahaya! Tumbuhan bergetah biasanya gatal dan menyebabkan keracunan,” tambah Cikka.
“Begitu ya? Lalu kita harus makan apa? Aku lapar. Kalau menunggu ikan matang, aku bisa sakit perut,” keluh Cakka.
“Mudah saja, hutan ini subur. Kita tinggal mencari batang, daun, atau umbi yang bisa dimakan, seperti bengkoang, talas, kentang, tebu, rebung, batang pisang, selada air, daun paku, daun singkong, daun pakis, dan lain sebagainya. Kalau terpaksa, kita juga dapat mencari jamur, tapi hindari yang berwarna mencolok, baunya menyengat, mengeluarkan getah, tumbuh di kotoran hewan dan berbintik-bintik kontras. Hindari tumbuhan yang berbau tidak sedap atau menyebabkan pusing. Hindari tumbuhan berbulu karena tumbuhan berbulu tidak bisa dicerna oleh organ pencernaan manusia. Kalau tetap nekat memakannya, kita bisa mengalami iritasi organ pencernaan,” jelas Cepaka.
“Sama saja! Aku harus menunggu sampai bahan-bahan itu selesai direbus sampai matang,” Cakka kembali mengeluh.
“Halah! Tidak lama! Daripada kamu keracunan!” sindir Cikka.
Mereka pun mulai mencari bahan-bahan makanan. Setelah selesai, mereka merebusnya sampai matang dan melahabnya bersama.
“Waahh.. Menyenangkan juga ya bisa makan bersama di hutan yang indah ini!” kata Gladis.
“Ya! Menyenangkan!” komentar Sasa.
“Tapi, apa tidak apa-apa kita berdiam diri di sini? Bagaimana kalau yang lain panik mencari kita?” tanya Cikka.
“Sudahlah! Toh, kita tidak tahu bagaimana caranya harus kembali. Daripada kita tersesat lebih jauh lagi. Lagipula, kita sudah makmur sekali di sini! Makanan banyak, air banyak, pemandangan indah. Kurang apalagi coba?” kata Cakka.
“Benar juga,” Cikka berkata pelan.
“Tapi, bagaimana dengan tempat berlindung? Kalau sampai larut panitia tidak menemukan kita bagaimana?” tanya Sasa.
“Tenang saja. Lihat ceruk yang seperti gua di dekat situ? Aku sudah memeriksanya tadi. Tempatnya aman, kalau terpaksa, kita bisa berlindung di sana nanti,” kata Cepaka.
“Waahh... Bahagianya!” seru Cakka.
“Yaaa, tapi tetap saja aku khawatir. Kalau-kalau yang lain panik mencari kita bagaimana? Padahal kita malah sedang bersenang-senang di sini,” Gladis bingung.
“Alah! Sudah! Kamu tenang aja! Kita memang seharusnya dicari. Kalau tidak, kita tidak akan tahu bagaimana harus kembali,” Cakka menimpali.
“Bagaimana kalau kita menyusuri jalan kita tadi. Kita tinggal berjalan melewati arah yang berlawanan dari peta. Kan tadi petanya terbalik?” usul Cikka.
“Bisa saja. Tapi jangan sekarang, hari sudah semakin larut. Besok pagi saja. Bagaimana?” saran Cepaka.
“Setuju!” seru keempat sahabatnya.
Mereka pun berbincang sambil menunggu waktu berlalu. Di tengah perbincangan mereka...
“Apa kita masih punya ranting yang cukup untuk membuat api unggun?” tanya Cikka.
“Masih cukup kok,” jawab Cakka.
“Bagus! Api unggun bisa membantu kita mengamankan diri dari ancaman hewan malam ini. Untung saja kita tidak berada di kawasan yang ada badaknya,” kata Cepaka.
“Memangnya kenapa kalau ada badaknya?” tanya Sasa.
“Karena badak akan berlari untuk mematikan api ketika melihat api tersebut,” jelas Cepaka.
Beberapa saat kemudian, sayup-sayup terdengar suara teriakan beberapa kali.
“Hei, coba dengar. Sepertinya itu suara panitia yang memanggil nama kita!” seu Cakka.
“Kau benar!” Gladis dan Sasa berseru bersamaan.
Cepaka bergegas mengambil senternya dan mengedipkannya beberapa kali ke arah sumber suara. Tiga kali kedipan singkat, tiga kali kedipan panjang, tiga kali kedipan singkat. Kedipan lampu senter itu melambangkan kode SOS yang berarti bahaya atau darurat atau minta pertolongan.
Tidak lama kemudian, rombongan panitia sampai ke tempat mereka berada. Kelima sahabat itu pun selamat.

 Jika kita tahu bagaimana cara bertahan hidup di alam, peka, dan selalu tenang, kita pasti dapat menemukan jalan keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar