Tersesat
By : Klepon
By : Klepon
“Nah, anak-anak. Ini saatnya
untuk memulai petualangan seru kalian! Jangan lupa untuk selalu mengamalkan apa
yang sudah bapak-ibu dan juga kakak-kakak panitia ajarkan. Pergunakanlah peta
yang sudah kalian bawa dengan baik dan benar. Jangan merusak alam. Tetaplah
bekerja sama dengan kelompok kalian.........” suara bapak ketua panitia
terdengar jelas di telinga para peserta.
“Uuuhh..... Lama sekali Pak Ketua
pidatonya. Bosan!” keluh Cakka.
“Aaaaa.... Untuk apa? Tidak usah
diberitahu pun, aku sudah tahu! Ayolah, aku ingin segera menjelajahi hutan
ini!” Cakka tak berhenti mengeluh.
Liburan sekolah dimulai. Sebagai
anak pramuka yang berjiwa petualang, kelima sahabat yang terdiri atas Cepaka,
Gladis, Cakka, Cikka, dan juga Sasa, tidak ingin melewatkan liburannya hanya
dengan bermalas-malasan di rumah. Karenanya, mereka memutuskan untuk mengikuti
kegiatan Perkemahan dan Penjelajahan Hutan yang diadakan oleh Lembaga
Kehutannan.
“Baik. Demikian pengantar dari
Ketua Panitia kita. Kini saatnya untuk menjelajah! Apa kalian siap ‘Hai,
Petualang!’” suara pembawa acara menggelegar.
“Oioioi!” jawab seluruh peserta
serempak.
Ketika giliran mereka berangkat,
kelima sahabat berjalan dengan mantap masuk ke dalam area hutan.
“Hei, Cepaka! Kali ini, aku yang
memimpin jalan ya!” seru Cakka.
“Memang kamu bisa membaca peta?”
sindir Gladis.
“Tentu saja bisa! Memang apa
gunanya aku mengikuti seluruh pelaihan ini?!” jawab Cakka tidak terima sambil
mengambil peta dari tangan Cepaka.
“Ya sudah. Pastikan kita tidak
akan tersesat, ya,” tutur Cepaka.
Perjalanan pun dimulai. Cakka
mengarahkan jalan dengan muka bijaksana. Dia menunjukkan jalan dengan langkah
pasti. Sampai beberapa saat kemudian..
“Apa kau yakin ini jalan yang
benar, Cakka? Kok medannya terjal sekali. Aku tidak yakin panitia memilihkan
jalan seperti ini,” tanya Sasa.
“Iya, aku juga merasa kita sudah
melewati jalan ini tiga kali,” keluh Cikka.
“Alah! Pasti benar! Aku kan
berjalan sesuai dengan peta. Panitia hanya ingin menguji kemampuan kita. Untuk
jalan yang sama, ini kan hutan! Tidah heran jika kita menemukan daerah yang
mirip di hutan,” sergah Cakka.
“Sini, biar aku lihat petanya!”
Cepaka mengambil peta dari tangan Cakka.
Seketika, tangan Cepaka lemas.
Bibirnya mengucapkan kata-kata dengan pelan, “Kau membaca peta ini terbalik.”
“Apaa?!” serempak keempat
sahabatnya berteriak.
“Aduh! Masak sih? Aaaaa... Apa
yang harus kita lakukan?” Gladis mulai panik.
“Hiks.. Hiks.. Hiks..” Sasa mulai
sesenggukan.
“Kamu sih! Kalau gak bisa baca
peta itu gak usah sok-sokan tahu!” bentak Cikka kepada Cakka.
“Ye?! Aku kan cuma melakukan
sedikit kesalahan!” Cakka tidak terima.
“Sedikit katamu??!” baru Cikka
akan menambah kata-katanya, Cepaka menengahi.
“Sudah-sudah. Yang harus kita
lakukan di saat seperti ini adalah tenang.”
“Tenang? Bagaimana aku bisa
tenang dalam keadaan seperti ini? Meski ini bukan hutan rimba, tapi hutan ini
cukup luas. Dan kita sudah berjalan lama tadi. Itu berarti kita pasti sudah
tersesat jauh.” Gladis bingung.
“Mudah saja. Rilekskan pikiran
dan mulailah mencari jalan. Sudah jangan panik. Jika kita tidak segera kembali,
aku yakin panitia akan segera mencari kita,” Cepaka menenangkan.
“Sampai berapa lama?” Sasa mulai
berhenti menangis.
“Secepatnya,” kata Cepaka yakin.
“Yang penting, kita masih punya
persediaan air dan makanan. Aku yakin itu cukup sampai kita menemukan jalan
kembali atau sampai panitia menemukan kita,” Cepaka menambahkan.
Tiba-tiba saja, Cakka cengar-cengir
tidak jelas. “Ehm, sebenarnya, makanan dan minuman kita aku tinggal di tenda
tadi. Habis, aku pikir kita tidak akan kelaparan atau kehausan jika hanya
menempuh jalan sesuai peta. Daripada berat, ya aku tinggal.”
“ Apaa?” keempat sahabatnya kembali
berteriak kompak.
“Aaah.. Kamu benar-benar
merepotkan!” Cikka kembali berteriak.
“Sudahlah. Bukannya di saat
seperti ini adalah waktu terbaik untuk mempraktekan teori-teori yang sudah kita
dapat?” suara Cepaka seperti menantang sahabat-sahabatnya.
“Benar juga. Untuk apa kita tahu
teorinya jika tidak pernah menggunakannya?” Gladis mulai tenang.
“Yoo! Baiklah! Ayo kita buktikan
bahwa kita dapat bertahan hidup di alam!” Sasa berteriak semangat.
“Yoo!” seru keempat sahabatnya.
“Baiklah, yang pertama perlu kita
lakukan adalah mencari sumber air,” Gladis memulai.
“Aah.. Sumber air banyak kok.
Daritadi, aku mendengar suara arus sungai. Dan ketika kita melewati salah
satunya tadi, airnya jernih, banyak ikan yang berenang-renang,” kata Cikka.
“Ya, benar! Adanya kehidupan di
air itu menandakan bahwa air itu aman untuk diminum. Kita hanya perlu
merebusnya. Bukannya kita sudah tahu bagaimana caranya membuat api?!” kata
Cakka.
“Ya! Mari kita menuju ke sungai!”
ajak Cepaka.
“Kita sudah sampai! Aku akan
mencari ranting kering! Hei, Cepaka! Kamu membawa korek api kan?” tanya Cakka.
“Ya, aku bawa. Jadi kita tidak
perlu susah-susah menggosokkan batang kayu atau batu untuk membuat api,” jawab
Cepaka.
“Untuk tempat merebusnya, pakai
apa?” tanya Sasa.
“Aku membawa rantang besi!
Sebenarnya rantang itu aku gunakan unuk tempat obat. Hihihihihi... Tapi lumayan
lah..” jawab Gladis.
Kelima sahabat itu bekerja dengan
riang gembira.
“Hei, kalian pasti lapar kan?
Bagaimana kalau kita memburu ikan-ikan itu untuk makan?” tanya Cikka.
“Aaaa... Tidak usah. Sewaktu aku
mencari ranting tadi. Aku menemukan pohon yang buah-buahnya sedang tumbuh
ranum! Ayo ikut aku!” ajak Cakka.
Cepaka dan Cikka mengikutinya,
sedangkan Sasa dan Gladis tetap menunggu di tempat semula.
“Naah.. Ini dia!” kata Cakka
sambil mengambil salah satu buah dan hendak memakannya.
“Jangan!” dengan sigap tangan
Cepaka melempar buah dari tangan Cakka.
“Ihh.. Kenapa sih? Aku lapar!”
keluh Cakka.
“Jangan makan buah itu! Lihat!
Buah ini terlihat cantik sekali. Tidak ada bekas gigitan hewan apapun. Padahal,
kau dapat melihat berbagai jenis hewan dan serangga di sini. Itu berarti, ada
kemungkinan buah ini beracun,” kata Cepaka.
“Ya! Lagipula, buah ini mengandung banyak getah! Berbahaya!
Tumbuhan bergetah biasanya gatal dan menyebabkan keracunan,” tambah Cikka.
“Begitu ya? Lalu kita harus makan apa? Aku lapar. Kalau menunggu
ikan matang, aku bisa sakit perut,” keluh Cakka.
“Mudah saja, hutan ini subur. Kita tinggal mencari batang, daun,
atau umbi yang bisa dimakan, seperti bengkoang, talas, kentang, tebu, rebung,
batang pisang, selada air, daun paku, daun singkong, daun pakis, dan lain
sebagainya. Kalau terpaksa, kita juga dapat mencari jamur, tapi hindari yang
berwarna mencolok, baunya menyengat, mengeluarkan getah, tumbuh di kotoran hewan
dan berbintik-bintik kontras. Hindari tumbuhan yang berbau tidak sedap atau
menyebabkan pusing. Hindari tumbuhan berbulu karena tumbuhan berbulu tidak bisa
dicerna oleh organ pencernaan manusia. Kalau tetap nekat memakannya, kita bisa
mengalami iritasi organ pencernaan,” jelas Cepaka.
“Sama saja! Aku harus menunggu sampai
bahan-bahan itu selesai direbus sampai matang,” Cakka kembali mengeluh.
“Halah! Tidak lama! Daripada kamu keracunan!”
sindir Cikka.
Mereka pun mulai mencari bahan-bahan makanan. Setelah
selesai, mereka merebusnya sampai matang dan melahabnya bersama.
“Waahh.. Menyenangkan juga ya bisa makan
bersama di hutan yang indah ini!” kata Gladis.
“Ya! Menyenangkan!” komentar Sasa.
“Tapi, apa tidak apa-apa kita berdiam diri di
sini? Bagaimana kalau yang lain panik mencari kita?” tanya Cikka.
“Sudahlah! Toh, kita tidak tahu bagaimana
caranya harus kembali. Daripada kita tersesat lebih jauh lagi. Lagipula, kita
sudah makmur sekali di sini! Makanan banyak, air banyak, pemandangan indah.
Kurang apalagi coba?” kata Cakka.
“Benar juga,” Cikka berkata pelan.
“Tapi, bagaimana dengan tempat berlindung? Kalau sampai larut
panitia tidak menemukan kita bagaimana?” tanya Sasa.
“Tenang saja. Lihat ceruk yang seperti gua di dekat situ? Aku
sudah memeriksanya tadi. Tempatnya aman, kalau terpaksa, kita bisa berlindung
di sana nanti,” kata Cepaka.
“Waahh... Bahagianya!” seru Cakka.
“Yaaa, tapi tetap saja aku khawatir. Kalau-kalau yang lain panik
mencari kita bagaimana? Padahal kita malah sedang bersenang-senang di sini,”
Gladis bingung.
“Alah! Sudah! Kamu tenang aja! Kita memang seharusnya dicari.
Kalau tidak, kita tidak akan tahu bagaimana harus kembali,” Cakka menimpali.
“Bagaimana kalau kita menyusuri jalan kita tadi. Kita tinggal
berjalan melewati arah yang berlawanan dari peta. Kan tadi petanya terbalik?”
usul Cikka.
“Bisa saja. Tapi jangan sekarang, hari sudah semakin larut. Besok
pagi saja. Bagaimana?” saran Cepaka.
“Setuju!” seru keempat sahabatnya.
Mereka pun berbincang sambil menunggu waktu berlalu. Di tengah
perbincangan mereka...
“Apa kita masih punya ranting yang cukup untuk membuat api
unggun?” tanya Cikka.
“Masih cukup kok,” jawab Cakka.
“Bagus! Api unggun bisa membantu kita mengamankan diri dari
ancaman hewan malam ini. Untung saja kita tidak berada di kawasan yang ada
badaknya,” kata Cepaka.
“Memangnya kenapa kalau ada badaknya?” tanya Sasa.
“Karena badak akan berlari untuk mematikan api ketika melihat api
tersebut,” jelas Cepaka.
Beberapa saat kemudian, sayup-sayup terdengar suara teriakan
beberapa kali.
“Hei, coba dengar. Sepertinya itu suara panitia yang memanggil
nama kita!” seu Cakka.
“Kau benar!” Gladis dan Sasa berseru bersamaan.
Cepaka bergegas mengambil senternya dan mengedipkannya beberapa
kali ke arah sumber suara. Tiga kali kedipan singkat, tiga kali kedipan
panjang, tiga kali kedipan singkat. Kedipan lampu senter itu melambangkan kode
SOS yang berarti bahaya atau darurat atau minta pertolongan.
Tidak lama kemudian, rombongan panitia sampai ke tempat mereka
berada. Kelima sahabat itu pun selamat.
Jika kita tahu bagaimana
cara bertahan hidup di alam, peka, dan selalu tenang, kita pasti dapat
menemukan jalan keluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar